Kehidupan Orang Tengger Indonesia
MATERI LENGKAP. Kehidupan Orang Tengger Indonesia
Tak perlu belajar khusus di perguruan tinggi atau sekolah filsafat. Cukup menengok kehidupan masyarakat Tengger, di sanalah Pancasila nyata-nyata hadir sebagai ‘the living ideology’.
Bagi para traveler, pasti sudah tahu paket wisata Bromo-Tengger-Semeru. Di sana mentari selalu setia merona, memerah-jingga, muncul dari kaki langit. Lantas, cahaya itu memantul-mantul di hamparan gunung-gemunung api yang membentuk lanskap kompleks pegunungan Tengger.
Perlahan namun pasti, sang surya naik memberi arsiran gelap-terang sembari menganyam rupa kaldera Gunung Bromo dan lautan pasirnya, serta diiringi munculnya lukisan Mahameru memerah merengkuh langit tinggi.
Kawasan Bromo-Semeru ini telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Bukan hanya memiliki ekosistem unik berupa lautan pasir di ketinggian 2.050 mdpl, di sana juga terdapat beberapa danau di ketinggian 2.300 mdpl, antara lain, yang kesohor adalah Danau Ranu Pani.
Selain menakjubkan hingga selalu menyihir siapapun yang hadir, sebenarnya kawasan Bromo-Tengger-Semeru juga selalu terkesan menyimpan misteri. Memang, kawasan itu masih menyimpan banyak misteri. Salah satunya, perihal masyarakat adat Tengger.
Sekiranya sebagai traveler yang memiliki sedikit kepekaan budaya, segera setelah berbincang dengan warga Tengger, bakalan tampak corak budaya mereka yang khas. Terlebih, sekiranya terjadi proses dialog mendalam (in-depth interview), tentu segera terasa bahwa perjalanan ke Bromo-Tengger-Semeru bukanlah semata agenda wisata alam, melainkan juga wisata budaya.
Bromo-Tengger-Semeru dan Orang Tengger, bagaimanapun merupakan satu kesatuan alam, kosmologi dan budaya yang utuh. Bagi Orang Tengger, Gunung Bromo dianggap sebagai gunung suci, sebuah lokus bersinggasananya Dewa Brahma.
Benar, sekiranya bicara perihal masyarakat Tengger tentu saja berbeda dengan masyarakat Kanekes Dalam atau Suku Anak Dalam, misalnya. Masyarakat Tengger terang bukanlah tipe ini. Mereka tidak menarik diri dan memisahkan dari dunia ramai. Namun di sana setidaknya bisa disaksikan, bahwa masyarakat Tengger memiliki karakteristik budaya yang berbeda dari budaya masyarakat Jawa secara umum.
Menurut Sensus BPS 2010, masyarakat Tengger ialah subetnis Jawa. Keberadaannya menetap di sekitar dan dalam kawasan konservasi Balai Besar Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Tepatnya di Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang, di Jawa Timur.
Secara linguistik, bahasa Orang Tengger sering disebut bahasa Jawa Tengger Bahasa itu memiliki lebih banyak kosa kata dari bahasa Jawa Kuno, dibandingkan bahasa Jawa Baru, yang digunakan masyarakat di sekitar Jawa Tengah. Merujuk riset PJ Zoetmulder, bahasa Jawa Baru lebih banyak menyerap kosa kata bahasa Arab ketimbang bahasa Jawa Kuno.
Selain itu, yang menarik dicatat di sini, bahasa Jawa Tengger juga tidak memiliki sistem stratifikasi bahasa, sebagaimana bahasa Jawa Baru. Bagi Orang Tengger, semua orang, siapapun dia, didudukkan sama (padha) dan satu keturunan (sakturunan).
Karena konsep padha dan sakturunan itulah maka bentuk hubungan sosial masyarakat Tengger menjadi cenderung bersifat egaliter, tidak mengenal sistem stratifikasi yang kaku, tidak bergaya hidup priyayi, dan, lebih dari itu, juga memiliki rasa kekeluargaan serta solidaritas sosial tinggi.
Asal Usul
Secara historis cukup susah dipastikan siapa dan sejak kapan sebenarnya masyarakat Tengger berdomisili di kawasan Bromo-Tengger-Semeru itu. Namun sejalan ditemukan beberapa prasasti muncullah tafsiran dari para peneliti, bahwa masyarakat Tengger diduga kuat telah tinggal di sana sejak abad ke-10.
Sebutlah Prasasti Walandit (tanpa tahun), misalnya. Prasasti ini bercerita tentang ketegangan antara Desa Walandit dengan para pejabat dari Desa Himad tentang status otonomi Desa Walandit.
Sejak dahulu masyarakat Walandit merasa desanya berstatus otonom. Posisi mereka di sana ditugasi oleh raja untuk memelihara candi leluhur (dharma kabuyutan). Karena itu masyarakat Desa Waladit menolak kehendak para pejabat dari Desa Himad yang berniat mengaturnya.
Ketegangan itu rupa-rupanya segera memanas dan membuat geger Kerajaan Majapahit. Beberapa petinggi kerajaan turun tangan menengahi, termasuk di antaranya ialah Gajah Mada yang saat itu menjabat Rakry?n Mapatih di Janggala dan Kadiri.
Konon, ketika itu masyarakat Walandit mengeluarkan piagam batu berlencana Raja Sindok sebagai sumber legitimasinya. Piagam batu in telah diterima mereka sejak empat ratus tahun yang lalu sebagai bukti perihal status otonomi Desa Walandit.
Sengketa itu diputuskan dimenangi oleh Desa Walandit. Keputusan itu jadi piagam. Itulah sejarah mula jadinya Prasasti Walandit. Dalam prasasti ini, Raja melarang penagihan pajak pada bulan titileman atau akhir bulan Kasada dari masyarakat Desa Walandit dan di sekitar wilayah keramat (hila-hila).
Pasalnya sejak dulu kala di sana telah tinggal para hulun hyang, abdi dewata, yang pada setiap bulan Kasada mereka berserta penduduknya wajib melakukan persembahan pada Sang Hyang Gunung Brahma (Gunung Bromo).
Menurut tafsiran seorang arkeolog Belanda, JG de Casparis, Walandit itu di zaman modern kini telah salin nama menjadi “Blandit”. Sebuah nama padukuhan di Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Malang, persisnya terletak di sebelah lereng barat Gunung Bromo. Di sini pulalah pada 1913, Prasasti Muñcang dari masa Raja Sindok ditemukan.
Prasasti Muncang inilah piagam batu berlencana Raja Sindok. Berbahasa Sanskerta dan berangka tahun 866 Saka atau 944 Masehi. Isi prasasti menjelaskan bahwa Desa Waladit dijadikan sima atau tanah perdikan, swatantra atau daerah otonomi.
Selain itu, pun diceritakan titah Raja Sindok untuk mendirikan sebuah tempat puja bakti. Bernama Siddhayoga dan berlokasi di Walandit. Di tempat itulah para pendeta memanjatkan persembahan kepada Sang Hyang Swayambhuwa, yaitu nama lain Dewa Brahma. Prasasti itu juga menerangkan, bahwa Desa Walandit ialah tempat suci yang dihuni para hulun hyang, yakni mereka yang mendidikasikan hidupnya hanya untuk Tuhan.
Ditambah Prasasti Lingga Sutan (929 M), Prasasti Jeru-jeru (930 M), dan Prasasti Gulung-gulung (929 M), seorang antropolog Indonesia, Dwi Cahyono dari Universitas Negeri Malang, bergerak lebih jauh. Ia menyimpulkan sekaligus meyakini, bahwa masyarakat Tengger telah mendiami kawasan di sekitar Gunung Bromo sejak Raja Sindok memerintah di abad ke-10. Orang Walandit itulah cikal bakal masyarakat Tengger.
Namun bagi masyarakat Tengger sendiri, bicara soal cikal bakal dirinya berarti sumber utamanya ialah tradisi lisan atau folklore. Meskipun menurut PJ Zoetmulder, tradisi tulis di Jawa telah dimulai sejak abad ke-9, masyarakat Tengger yang tinggal berpencar-pencar di kawasan Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru itu tampaknya masih belum akrab dengan tradisi tulis.
Menurut mereka nama Tengger diambil dari akronim dua tokoh legenda, suami-istri yang bernama Rara Ateng (Teng) dan Joko Seger (Ger). Rara Anteng dipercaya ialah putri Raja Majapahit, sedangkan Jaka Seger ialah putra seorang brahmana yang bertapa di dataran tinggi Tengger.
Budi Pekerti Luhur
Selain itu, Orang Tengger juga sering menegaskan bahwa istilah Tengger itu mengacu pada pengertian ‘tengering budi luhur’, yaitu bahwa masyarakat Tengger ditandai atau dicirikan oleh sifat-sifat budi pekerti luhur.
Sejauh telah dilakukan banyak penelitian, maka dilihat dari jenisnya, ada dua produk tradisi lisan yang masih hidup di Tengger. Yakni, folklore dalam bentuk cerita rakyat (prose narrative) dan mantera. Pada kelompok terakhir, berupa doa-doa yang digunakan oleh para tokoh spritual (dukun) Tengger dalam berbagai macam upacara adat. Sejauh ini upaya mengubah tradisi lisan menjadi tradisi keberaksaraan selalu dilakukan oleh orang-orang di luar masyarakat Tengger sendiri.
Setidaknya ditemui dua legenda utama. Pertama, legenda Kasada. Folklore ini berkisah tentang sejarah mengapa masyarakat Tengger melakukan ritual mempersembahkan berbagai hasil pertanian mereka ke kawah Gunung Bromo saat bulan Kasada tiba.
Kedua, legenda Karo. Folklore ini berisi petunjuk perihal sejarah mengapa Orang Tengger mengadakan ritual upacara Karo untuk memuliakan dan menyucikan arwah para leluhur yang telah meninggal di bulan Karo.
Sudah tentu kedua legenda utama ini muncul dalam banyak sekali versi. Dari publikasi pertama yaitu berupa surat dari Adriaan Van Ryck kepada Hooyman, ditulis pada 1785. Versi yang mirip itu juga telah dipublikasikan oleh Thomas Stamford Raffles pada 1817. Termasuk juga oleh para Indonesianis termutakhir, seperti antropolog Robert W Hefner pada 1985. Sedangkan peneliti dari tanah air tentu bukan hanya Dwi Cahyono saja, patut disebut juga nama Ayu Sutarto.
Penulis yang disebut terakhir, salah satu concern-nya adalah meneliti tradisi sastra lisan. Setelah meneliti tradisi lisan masyarakat Tengger, dia menyimpulkan, bahwa proses penyalinan dari lisan menjadi tulisan seringkali malah berdampak mengubah narasi itu sehingga tidak jarang justru bahkan jadi bertentangan dengan pikiran mayoritas para pewaris tradisi Tengger sendiri. Meskipun begitu, para pewaris tradisi Tengger tampaknya tidak pernah mempermasalahkan perbedaan itu.
Selain itu, di sini menarik digarisbawahi, adanya kesimpulan dari penelitian Ayu Sutarto. Bahwa, jelas Legenda Kasada pernah terpengaruh oleh proses islamisasi yang berlangsung di Jawa saat itu. Walhasil, alur narasinya pun jadi mencerminkan syiar Islam. Sedangkan pada Legenda Karo juga tecermin pesan moral kuat yang menganjurkan adanya persatuan dan kesatuan dalam perbedaan iman, antara Budha (Hindu) di satu sisi dan Islam di sisi lain.
Pergi berwisata ke Bromo-Tengger-Semeru bukan hanya mendapat kepuasan pesona alam. DI sana juga sarat pelajaran perihal kearifan budaya lokal masyarakat Tengger.
Budi pekerti luhur Orang Tengger sebagaimana mereka hayati dari nama Tengger yang berarti tengering budi luhur, bukanlah isapan jempol. Sekali lagi, pada 1990 Ayu Sutarto, budayawan sekaligus guru besar Fakultas Sastra Jember itu pernah melakukan studi lapangan selama lima tahun untuk melihat keluhuran masyarakat Tengger. Hasilnya, sungguh menakjubkan.
Angka kejahatan di desa-desa Tengger hampir dipastikan selalu nol. Jikalau pun didapati adanya tindak kriminal, umumnya pelakunya ialah Wong Ngare, yaitu mereka yang tinggal di dataran rendah dan bukan Orang Tengger.
Bicara perihal Pancasila sebagai ‘the living ideology’, tak perlu belajar khusus di perguruan tinggi atau sekolah filsalaf. Cukup tengoklah masyarakat Tengger, di sanalah akan temui Pancasila nyata-nyata hadir sebagai ‘the living ideology’.
Posting Komentar untuk "Kehidupan Orang Tengger Indonesia"