Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asal Usul Museum Taman Prasasti

Daftar Isi [Tampil]

MATERI LENGKAPAsal Usul Museum Taman Prasasti – Kerkhof Laan, dalam pengejaan verbal sering disingkat Kerkhof, atau oleh orang Jawa disebut Kerkop, bermakna area perkuburan yang tidak selalu berhubungan atau berlokasi dekat dengan gereja. Juga tidak lagi selalu bermakna kuburan khusus bagi orang Eropa.

 

Apakah Anda pernah berkunjung ke Museum Taman Prasasti di Jl Tanah Abang? Apa menariknya, menapak tilas dan beranjangsana ke sebuah perkuburan tua sisa-sisa peninggalan Belanda?

Kompleks pemakaman yang menjadi cikal bakal Museum Taman Prasasti ini adalah salah satu taman pemakaman umum modern tertua di Jakarta. Menurut Nirwono Joga (2005), bukan tidak mungkin taman pemakaman ini bahkan salah satu yang tertua di dunia. Lebih tua ketimbang pemakaman Fort Canning Park (1926) di Singapura, Gore Hill Cemetery (1868) di Sydney, La Chaise Cemetery (1803) di Paris, Mount Auburn Cemetery (1831) di Cambridge, Massachusetts, dan Arlington National Cementery (1864) di Washinton DC.

Pada 1975, karena alasan sudah penuh maka kawasan makam ini ditutup sebagai pemakaman. Dan pada 9 Juli 1977, kawasan pemakaman dijadikan sebagai Museum Taman Prasasti dan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin.

Areal kompleks pemakaman yang luasnya sempat berkembang hingga 5,9 hektar pun konsekuensinya disusutkan menjadi 1,2 hektar. Di tanah bekas makam umum itu setidaknya kini berdiri gedung-gedung pemerintah, yaitu Kantor Wali Kota Jakarta Pusat dan KONI Pusat.

Untuk jelajah wisata arkeologis melihat-lihat berbagai artefak peninggalan kolonial Belanda, modal utamanya memang harus paham sejarah, setidaknya secara garis besar. Tanpa bekal itu, peninggalan artefak sejarah itu akan diam membisu.

Di balik suasana sunyi dan teduh pepohonan yang tumbuh di dalamnya, museum ini menyimpan begitu banyak kisah kematian para tokoh penting dari berbagai periode sejarah yang berbeda.

 

Gereja-Makam

Mari diimaginasikan bersama, membawa kesadaran pulang ke masa lalu, masuk ke masa dua dekade akhir abad ke-18. Saat WV Halventius, yaitu putra Gubernur Jendral ke-29 Jeremias Van Rimsdijk, tengah berkuasa di Batavia (1775 – 1777), mendonasikan tanah di sekitar areal Tanah Abang kepada Pemerintah Kota Batavia sebagai taman pemakaman baru.

Apa pasal si-Halventius berbaik hati? Tanah hibah seluas 5,5 hektar sengaja dirancang menjadi pemakaman umum bagi warga Eropa dan Belanda khususnya, yang saat itu berdomisili di Batavia. Tentu saja setelah pemakaman lama, yang dulu lazim berada di dalam dan luar Gereja De Nieuw Hollandsche Kerk (Gereja Belanda Baru) atau sering juga disebut Gereja Salib, telah penuh sesak dengan makam-makam.

Ya, pada sekitar abad ke-17 sampai akhir abad ke-18 di Indonesia, tampaknya gereja bukan saja menjadi tempat peribadatan, tapi juga lazim menjadi tempat pemakaman. Fenomena ini jelas bukan fenomena partikular dan khas dari praktik Kristen-Eropa di Indonesia, tetapi sebenarnya secara umum juga terjadi di Dunia Kristen saat itu. Konon, fenomena yang lazim terjadi sejak memasuki abad pertengahan ini mulai berakhir setelah pecahnya revolusi Perancis di 1789.

Di Indonesia khususnya di daerah Jakarta kini, selain di Gereja De Nieuw Hollandsche Kerk di Kota Tua, patut juga disebutkan Gereja Sion atau dikenal sebagai Portugeesche Buitenkerk ditemui fenomena gereja dan sekaligus pemakaman di dalam satu area.

Perkuburan di Gereja De Nieuw Hollandsche Kerk ini, yang kini menjadi Museum Wayang di Kota Tua nisbi telah kehilangan jejak fungsinya sebagai kuburan di masa lalu, setidaknya masih menyimpan artefak nisan Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen dan Gubernur Jendral Van Imhoff.

Sedangkan Gereja Sion, yang dibangun pada 1695 untuk menggantikan pondok kayu sederhana yang sudah tidak memadai bagi umat Kristen Portugis, bahkan hingga saat ini di era Indonesia merdeka masih memerankan fungsinya sebagai gereja.

Seperti diketahui, Gereja Sion yang telah berumur tiga abad lebih itu dan berlokasi di Jalan Jayakarta kini, posisinya saat itu secara tata ruang berada di luar tembok kota Batavia atau Kota Tua sekarang. Di perkuburan pelataran gereja ini setidaknya tercatat dimakamkan Gubernur Jendral Hindia Carel Reyniersz dan Gubernur Jendral Hendrick Zwaardecroon.

Kerkhof Laan

Mulai resmi digunakan pada 28 September 1795, tanah hibah yang menjadi taman pemakaman baru itu disebut ‘Kerkhof Laan. Setelah Indonesia merdeka berganti nama ‘Kebun Jahe Kober’, hingga pada waktunya nanti berubah nama menjadi Museum Taman Prasasti.

Berasal dari bahasa Belanda, Kerkhof Laan sendiri berasal kata ‘kerk’ yang artinya ‘gereja’, ‘hof’ artinya ‘kuburan’, dan ‘laan’ artinya ‘halaman’. Namun selang kurang-lebih tiga tahun kemudian, pada 1798 Pemerintah Belanda, yang dalam hal ini ialah VOC, mengeluarkan ‘placaat’ yaitu pengumuman resmi pemerintah bahwa orang tidak boleh lagi memakamkan orang yang meninggal di dalam gereja dan sekitarnya, karena dianggap tidak sehat, di samping pemakaman di gereja sudah sangat penuh.

Maka sejak itulah istilah Kerkhof Laan, yang sering dieja singkat Kerkhof, atau oleh orang Jawa disebut Kerkop, pun berubah makna. Kata Kerkhof menjadi lebih berarti area perkuburan saja dan tidak selalu berhubungan atau berlokasi dekat dengan gereja. Juga istilah ini tidak lagi selalu bermakna kuburan khusus bagi warga Eropa. Beberapa Kerkhof di Bandung dijumpai kuburan orang Tionghoa, pun Kerkhof di Tanah Abang juga ditemui kuburan orang Indonesia.

Dari berbagai sumber disebutkan, bahwa lokasi Kerkhof Laan itu jauh dari tembok kota Batavia, yang posisinya ketika itu berada di Kota Tua sekarang. Sekalipun hanya terpaut jarak sekitar 7 kilometer, demikian dikisahkan jika ada warga Batavia meninggal, maka usungan jenasah dibawa menggunakan perahu atau sampan menyusuri kanal-kanal kota hingga masuk ke Sungai Krukut, yang letaknya sekarang berada di Jl Abdul Muis.

Menariknya, mengimajinasikan panorama Jakarta saat itu. Digambarkan oleh seorang pelaut Inggris pada 1718, bahwa kanal-kanal besar selain berfungsi mengantisipasi banjir dan mengalirkan air dari kali-kali di seputar Jakarta telah tertata rapi sehingga menambah sejuk pemandangan.

Di setiap sisi kanal ditanami barisan pohon-pohon yang selalu hijau, plus kerapian bangunan-bangunan yang ada, membuat jalan-jalan jadi terlihat begitu menawan. Sehingga, pelaut Inggris itu pun menyimpulkan, “Saya pikir kota ini (dengan ukuran sebesar itu) adalah salah satu yang terapi dan terindah di seluruh dunia.”

Saat itu tentu saja Istana Negara di Jl Merdeka kini, yang berjarak 4 kilometer dari lokasi pemakaman, juga belum dibangun. Barulah berselang satu tahun semenjak dibukanya taman pemakaman umum inilah, bangunan Istana Negara, yang dulu awalnya merupakan rumah peristirahatan luar kota milik pengusaha Belanda J A Van Braam dan belakangan jadi istana Gubernur Jendral Hindia Belanda, mulai dibangun pada 1796 dan selesai pada 1804.

Tercatat, banyak tokoh penting dimakamkan di Kerkhof Laan. Jika Anda pemerhati susastra kuno dan kebudayaan Indonesia, sedikit atau banyak Anda tentu berutang budi pada JLA Brandes. Meninggal di Batavia pada 26 Juni 1905, Brandes ialah seorang filolog yang terkenal karena menemukan manuskrip Kakawin Nagarakretagama di Puri Cakranegara Lombok pada 1894, dan juga karena penerjemahan Serat Pararaton dan ulasannya.

Saat meninggal Brandes juga masih menjabat sebagai Ketua Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera (Komisi Hindia Belanda untuk Penelitian Arkeologi di Jawa dan Madura), yaitu cikal bakal dari Dinas Purbakala dan Pusat Penelitian Arkeologi di Indonesia sekarang.

Juga dikebumikan di sana tokoh Dokter HF Roll, yaitu pendiri STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera) di zaman Belanda. Jika sebelumnya kurikulum sekolah kedokteran di Batavia hanya setara dengan standar sekolah mantri, maka saat HF Roll menjabat sebagai direktur Sekolah Dokter Jawa mengusulkan supaya pemerintah Belanda menyelengggarakan pendidikan kedokteran yang setara dengan pendidikan kedokteran di Eropa (Belanda).

Dari usalan Dokter HF Roll itulah muncul STOVIA pada 1903. Munculnya STOVIA menandai berakhirnya Sekolah Dokter Jawa. Pada 1909 STOVIA berhasil meluluskan muridnya, dan para lulusannya tidak lagi bergelar Dokter Jawa, melainkan Inlandsche Arts (Dokter Bumiputera).

Dari STOVIA ini pulalah muncul tokoh pergerakan generasi awal seperti Tjipto Mangungkusumo, Wahidin Soedirohusodo, dan Dr Sutomo. Juga dari sana pulalah nanti lahir organisasi Budi Utomo pada 1908. Menarik juga dicatat, jikalau pada awalnya proses pendidikan STOVIA berada di daerah sekitar Kwini, Senen, maka sejak 1920-an lokasi STOVIA secara bertahap dipindahkan ke Salemba dan sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Di sana juga bersemayam sosok Olivia Marianne Raffles. Dari nama belakangannya, Anda tentu teringat sosok masyur Thomas Stamford Raffles. Selain menulis karya klasik The History of Java, sosok ini pernah menjabat selaku Gubernur Jenderal di Hindia Belanda pada 1811-1816 ketika Kerajaan Inggris mengambil alihnya dari Kerajaan Belanda, sekaligus pendiri negara Singapura, yang namanya pun melekat pada spesies bunga bangkai, Rafflesia Arnoldii.

Konon, atas usul Olivia Marianne inilah Raffles kemudian tergerak memanfaatkan lahan luas di tempat mereka tinggal di Buitenzorg atau Istana Bogor sekarang. Maka dibuatlah sebuah taman botani bergaya Inggris klasik, yang menjadi cikal bakal Kebun Raya Bogor yang sekarang kita kenal dan masih bisa dinikmati hingga kini.

Sedangkan orang Indonesia yang turut dikebumikan di sana adalah aktris tahun 1930-an, Miss Riboet atau sohor dengan panggilan Miss Tjitjih, selain juga seorang aktivis pergerakan mahasiswa generasi 1960-an yang terkenal super idealis yang bernama Soe Hok Gie.

Posting Komentar untuk "Asal Usul Museum Taman Prasasti"